Aktivisme Bersajak Penghayat Alam

(Kompas, 28 April 2018)

Menyimak sajak demi sajak yang terhimpun dalam buku ini, mengantar senandung sendu Saras Dewi tatkala berlagu: Menatap lembayung di langit Bali, dan kusadari betapa berharga kenanganmu. Di kala jiwaku tak terbatas, bebas berandai mengulang waktu. Saras Dewi melalui Kekasih Teluk maupun Lembayung Bali—lagu lawasnya lima belas tahun silam itu, mengungkapkan kegelisahan yang sama; satu lewat lagu, satu lewat puisi. Saras Dewi mengenang sekaligus mencemaskan Bali sebagai kampung halamannya.

Kita akan mendapati romantisme dalam sajak-sajak Saras Dewi. Buku sajak Kekasih Teluk ini diakui Saras Dewi menjadi semacam ucapan terima kasihnya kepada Teluk Benoa, Bali. Saras Dewi lahir di Denpasar. Kemudian meninggalkan Bali dan mengajar sebagai dosen Filsafat Universitas Indonesia. Semenjak mengajar, Saras Dewi mengeluhkan hidupnya seolah mesin filsafat, yang sehari-harinya dihabiskan untuk membangun argumen kokoh dan logis.

Rasa puitiknya terenggut, digantikan kebisingan kota yang menuntut rutinitas dan kemonotonan. Bagi Saras Dewi, “Hari-hari saya bersama Teluk Benoa, adalah keintiman yang mengisi jiwa dengan harapan. Ia memperbaharui hidup saya, menyambung kembali cinta yang sempat tercerai dengan kampung halaman.”

Menjadi seorang akademisi tidak membikin Saras Dewi berjarak dengan Bali maupun laku aktivisme. Saras Dewi adalah seorang intelektual yang merasa tidak mungkin berdiam diri saja di rumah ilmu, yakni universitas. Saras Dewi tidak ingin seperti jamaknya intelektual di Indonesia yang nyaman berada di menara gading: gelar, martabat, maupun pekerjaan akademik.

Setidaknya, sajak “Rumah Ilmu” menandaskan itu. Meski pengetahuan disebutnya memberikan bilik ruang yang nyaman diselimuti buku-buku, tetapi tidak terlibat terhadap “untaian kesengsaraan” menurutnya menjadi wujud kejahatan. Sosok intelektual yang rendah hati juga begitu kuat dalam sajak “Takut”. Saras Dewi merasa pikiran merintangi kebebasannya dan, “Pengetahuan tidak menyelamatkanku” (hlm. 31).

Kita tahu selama tahun-tahun terakhir ini Saras Dewi menceburkan dirinya sebagai seorang aktivis lingkungan hidup. Dia aktif dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi sampai sekarang. Dan dapat dikatakan, sajak-sajaknya dalam Kekasih Teluk ini tidak lain sebentuk ekspresi puitiknya atas laku aktivismenya tersebut. Saras Dewi bersajak untuk melawan. Sajak-sajaknya menjadi artikulasi penolakannya atas reklamasi Teluk Benoa, bahwa ia, “Tidak mau manusia menang dalam perkelahian tidak setimbang dengan alam” (hlm. 28).

Saras Dewi dalam sajak berjudul “Ibu” tersebut melanjutkan, Sebab bila mereka menang, berarti mereka telah kalah/ Karena mereka sejatinya membunuh,/ ibunya sendiri. Alam adalah ibu bagi manusia. Manusia lahir dari dan dibesarkan bersama alam. Dalam sajak tersebut, keserakahan dan arogansi manusia pada alam, pada akhirnya seperti seorang anak yang mendurhakai, bahkan membunuh ibunya. Tidak hanya ibuisme, dalam melukiskan hubungan mesra antara manusia dan alam, Saras Dewi banyak melakukan personifikasi alam: nyanyian lumba-lumba, pancaran mata anjing, laut, gunung, padang lamun, pohon, angin senja, dan gemerisik sungai. Bahwa agama manusia, bagi Saras Dewi tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa (hlm. 21). Tak pelak, aku-penyair dalam sajak-sajaknya seakan telah memilih untuk beragama pada alam.

Tidak hanya itu, “kekasih”, sebagai ungkapan metaforisnya pada Teluk Benoa maupun Sanur, bergelimang dalam setiap sajak-sajaknya. Misalnya dalam baris terakhir sajak “Cinta yang Paling Mulia”, Saras Dewi menulis, Cinta adalah teluk/ Dan teluk adalah aku. Joko Pinurbo dalam pengantar buku menyebut larik terakhir dalam sajak itu begitu intim, tak lain ialah penghayatan mengenai hubungan cinta kasih manusia dengan alam. Ada identifikasi timbal balik antara manusia dan alam. Pada alam, manusia menemukan gambaran dirinya, dan dalam dirinya, manusia merasakan arus dan denyut alam (hlm. 16).

Buku puisinya ini juga melengkapi buku Saras Dewi sebelumnya, Ekofenomenologi (2015). Buku tersebut adalah studi filsafat Saras Dewi yang mengurai secara mendalam tentang kesetimbangan antara relasi manusia dengan alam. Saras Dewi meminjam pemikiran fenomenologi Martin Heidegger atas kritik terhadap manusia yang merasa dirinya adalah subjek dan memperlakukan alam semata sebagai objek.

Eksploitasi yang dilakukan manusia mengesampingkan keberadaan alam. Alam hanya dijadikan sebagai alat pemuas kepentingan manusia belaka. Kita dapat menemukan keselarasan pandangan Saras Dewi memandang alam dalam kedua bukunya itu. Dalam ekofenomenologi, teluk benoa bukan sekadar teluk, melainkan kupu-kupu, ikan-ikan, terumbu karang, penyu hijau, juga bangau di sana.

Seturut itu, buku puisi Saras Dewi ini menjadi penting untuk mengingatkan kita kembali makna fenomenologis hubungan welas asih antara manusia dan alam. Sajak-sajaknya tak hanya romantis, namun juga mengisyaratkan kekhawatirannya pada pembangunan di Bali, khususnya reklamasi yang memacak kerusakan alam di Teluk Benoa. Sajak “Kelahiran Anarki” menjadi pengejawantahan atas pendiriannya menolak reklamasi. Saras Dewi bersajak, Anarki lahir dari seorang bocah,/ Yang menggandeng tangan Ayahnya,/ Berderap tanpa alas kaki, meneriakan “Bali Tolak Reklamai!”

Buku sajaknya ini mengesahkan Saras Dewi sebagai intelektual sekaligus penghayat alam. Kecintaan Saras Dewi pada ilmu pengetahuan sama besarnya dengan etos dan eros melawan pelbagai bentuk keangkuhan manusia pada alam. Selain itu, sajak-sajak yang terhimpun dalam buku puisinya ini juga menjelma ingatan Saras Dewi pada Bali di masa lalu. Sajak menjadi pertaruhan perlawanan sekaligus kenangan pada keluarga, rumah, pura, teluk, pantai, dan pohon-pohon. Saras Dewi berkenang seperti dalam sajak berjudul “Delima”: Agar segalanya ada dalam diriku./ Terjaga di dalam diriku.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.